Selasa, 30 November 2010

Fenomena Facebook dikalangan Mahasiswa

Beberapa waktu lalu muncul laporan mengenai tanda-tanda orang kecanduan Facebook atau situs jejaring sosial lainnya, misalnya  mengubah status lebih dari dua kali sehari dan rajin mengomentari perubahan status teman. Anda juga rajin membaca profil teman lebih dari dua kali sehari meski ia tidak mengirimkan pesan atau men-tag Anda di fotonya.

kecanduan situs jejaring sosial seperti Facebook atau MySpace juga bisa membahayakan kesehatan karena memicu orang untuk mengisolasikan diri. Meningkatnya pengisolasian diri dapat mengubah cara kerja gen, membingungkan respons kekebalan, level hormon, fungsi urat nadi, dan merusak performa mental. Hal ini memang bertolak belakang dengan tujuan dibentuknya situs-situs jejaring sosial, di mana pengguna diiming-imingi untuk dapat menemukan teman-teman lama atau berkomentar mengenai apa yang sedang terjadi pada rekan Anda saat ini.
Suatu hubungan mulai menjadi kering ketika para individunya tak lagi menghadiri social gathering, menghindari pertemuan dengan teman-teman atau keluarga, dan lebih memilih berlama-lama menatap komputer (atau ponsel). Ketika akhirnya berinteraksi dengan rekan-rekan, mereka menjadi gelisah karena "berpisah" dari komputernya.
Si pengguna akhirnya tertarik ke dalam dunia artifisial (disalah artikan). Seseorang yang teman-teman utamanya adalah orang asing yang baru ditemui di Facebook atau Friendster akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi secara face-to-face. Perilaku ini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang serius, seperti kanker, stroke, penyakit jantung, dan dementia (kepikunan), demikian
menurut Dr Aric Sigman dalam The Biologist, jurnal yang dirilis oleh The Institute of Biology.

Pertemuan secara face-to-face memiliki pengaruh pada tubuh yang tidak terlihat ketika mengirim e-mail. Level hormon seperti oxytocin yang mendorong orang untuk berpelukan atau saling berinteraksi berubah, tergantung dekat atau tidaknya para pengguna. Beberapa gen, termasuk gen yang berhubungan dengan sistem kekebalan dan respons terhadap stres, beraksi secara berbeda, tergantung pada seberapa sering interaksi sosial yang dilakukan seseorang dengan yang lain.

Menurutnya, media elektronik juga menghancurkan secara perlahan-lahan kemampuan anak-anak dan kalangan dewasa muda untuk mempelajari kemampuan sosial dan membaca bahasa tubuh. "Salah satu perubahan yang paling sering dilontarkan dalam kebiasaan sehari-hari penduduk Inggris adalah pengurangan interaksi dengan sesama mereka dalam jumlah menit per hari. Kurang dari dua dekade, jumlah orang yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat diajak berdiskusi mengenai masalah penting menjadi berlipat."

Kerusakan fisik juga sangat mungkin terjadi. Bila menggunakan mouse atau memencet keypad ponsel selama berjam-jam setiap hari, Anda dapat mengalami cidera tekanan yang berulang-ulang. Penyakit punggung juga merupakan hal yang umum terjadi pada orang-orang yang menghabiskan banyak waktu duduk di depan meja komputer. Jika pada malam hari Anda masih sibuk mengomentari
status teman Anda, Anda juga kekurangan waktu tidur. Kehilangan waktu tidur dalam waktu lama dapat menyebabkan kantuk berkepanjangan, sulit berkonsentrasi, dan depresi dari sistem kekebalan. Seseorang yang menghabiskan waktunya di depan komputer juga akan jarang berolahraga sehingga kecanduan aktivitas ini dapat menimbulkan kondisi fisik yang lemah, bahkan obesitas.

Tidak heran jika Dr Sigman mengkhawatirkan arah dari masalah ini. "Situs jejaring sosial seharusnya dapat menjadi bumbu dari kehidupan sosial kita, namun yang kami temukan sangat berbeda. Kenyataannya situs-situs tersebut tidak menjadi alat yang dapat meningkatkan kualitas hidup, melainkan alat yang membuat kita salah arah," tegasnya.

Namun, bila aktivitas Facebook Anda masih sekadar sign in, mengonfirmasi friend requests, lalu sign out, tampaknya Anda tak perlu khawatir bakal terkena risiko kanker, stroke, bahkan menderita pikun.






Sebuah kisah yang saya harap menggugah hati kita semua tentang bagaimana kondisi anak jalanan saat ini.

Kisah ini diambil di sebuah kota besar di Indonesia dimana masih banyak ditemui anak-anak jalanan di beberapa sudutnya. Tahukah anda bahwa sebenarnya anak-anak jalanan tersebut memiliki sebuah organisasi yang cukup jelas dan terstruktur dengan baik? Namun bukan hal itu yang akan saya uraikan saat ini, tapi lebih pada bagaimana kondisi mereka (anak jalanan) saat mereka berada di tempat penampungan  yang menjadi rumah bagi mereka.

Saat kita melihat sekelompok anak jalanan yang sedang  bekerja  di siang hari yang terik dan kita menyisihkan sejumlah rizki yang kita berikan kepada salah satu dari mereka,  maka tahukan anda bahwa sejumlah uang yang kita sedekahkan tadi akan mengalir ke seseorang yang dapat kita sebut  bapak asuh yang walau terlalu halus kalau menyebut sosok ini dengan  bapak asuh  karena sifat sosok bapak asuh ini jauh dari mengasuh dan mengayomi,  terbukti dengan banyaknya  anak jalanan  yang berhasil kabur dari kandang singa ini. 'Bapak asuh' inilah yang akan mengelola 'keuangan' mereka.

Struktur dan jobs description yang diberikan kepada anak-anak jalanan  juga telah diatur sedemikian rupa secara jelas dan terarah. Lihatlah dan coba amati anak-anak jalanan yang mendulang 'emas' di jalanan, pasti ada salah satu dari mereka yang memainkan alat musik sedangkan yang lain bernyanyi, atau jika yang ada adalah sosok pengemis, maka akan ada dua orang dimana salah satu jadi juru bicara dan yang lain berakting untuk menarik rasa iba dari pengguna jalan. Yang jelas, tiap-tiap orang memiliki tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Ya walaupun ujung-ujungnya, uang yang berhasil mereka raup akan menuju kepada satu management.

Namun tahukah kita bahwa perlakuan 'management anak jalanan' tadi sangat memprihatinkan ??? Beberapa dari kita mungin sudah mengetahui dari tayangan reportase di TransTV atau dari adegan di beberapa sinetron, tapi sesungguhnya kondisi yang digambarkan di televisi adalah kondisi yang kasat mata dan tertangkap oleh mata kamera. Pernahkah kita mencoba menyelami hati dan perasaan anak-anak tersebut ???

Fakta yang terungkap adalah bahwa mereka sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari para 'manager' anak jalanan tersebut. Misalnya, dalam pemberian jatah makan saja, anak jalanan yang bertugas sebagai 'penyanyi' akan mendapatkan jatah makanan yang lebih sedikit daripada mereka yang 'bermain musik', padahal keduanya tergabung dalam satu 'pertunjukan' ,maksudnya kemana-mana bersama, uang yang berhasil mereka dapatkan juga harus diserahkan kepada orang yang sama, merekapun bekerja secara bersama-sama, namun mengapa mereka tidak bisa mendapatkan jatah makanan yang sama ? ya walaupun diakui bahwa si 'pemain musik' jauh memiliki andil dalam setiap 'pertunjukan' yang ada, dan 'si penyanyi tidak akan bisa tampil solo tanpa alat musik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semenjak adanya penyanyi tadi 'pertunjukan' semakin semarak dan uang pun mengalir semakin deras.

Bukan hanya masalah makanan, perlakuan secara mental juga begitu adanya, penyiksaan yang kerap kali dihadapi juga jauh dari kata-kata adil, walaupun untuk hal ini masih terlalu subjektif dan tidak dapat dijadikan patokan. Meskipun yang namanya penyiksaan memang sama sekali jauh dari kata-kata keadilan .

Coba kita bayangkan saja, jika kita jadi salah satu dari anak jalanan yang mendapat perlakuan kurang adil dari sang penguasanya sementara mereka tinggal di rumah yang sama, bekerja bersama-sama, menyerahkan semua yang didapatkan di jalanan kepada orang yang sama ? Kalau keadaan seperti ini dari mana anak jalanan bisa mendapatkan sisa-sisa kebahagian yang selama ini telah banyak hilang dari kehidupan mereka ??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar